Minggu, 29 Agustus 2010

sejarah, metodologi, sistem, tujuan pesantren

A. GAMBARAN UMUM PESANTREN
a. Sejarah Pertumbuhan Pesantren
Dalam tinjauan historis ini dibatasi pada persoalan sejarah pertumbuhan serta gambaran secara umum mengenai pesantren. Hal ini karena berkaitan dengan sulitnya mencari data-data sejarah tentang awal berdirinya pesantren. Dalam buku-buku yang berkaitan dengan sejarah pesantren belum mampu menyimpulkan kapan berdirinya pesantren. Dan medan kajian dari penulis-penulis tersebut, hanya masih taraf penemuan-penemuan hubungan kebudayaan melalui matrik kurikulum, tradisi serta simbol-simbol bahasa yang sering dipakai dalam dunia pesantren. Seperti dalam tulisan Karel A. Steenbrink, model pendiskripsinya masih bermuara pada seputar hubungan pesantren dengan warisan Hindu-Budha, atau juga hubungan pesantren dengan tradisi kebangkitan Islam abad pertengahan di Timur-Tengah.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan Islam masuk di Indonesia. Dan menurut Kafrawi, di pulau jawa lembaga ini berdiri untuk pertama kalinya di zaman walisongo. Untuk sementara, Sheikh Malik Ibrahim atau yang disebut Sheikh Maghribi dianggap sebagai ulama yang pertama kali mendirikan pesantren di jawa.
Anggapan demikian bisa dimengerti, karena melihat kondisi obyektif pesantren dengan segala elemen dan tata cara serta kebahasaanya. Dimana di dalamnya terdapat elemen Hindu-Budha dan Islam. Misalnya Istilah funduq berasal dari bahasa Arab, yang artinya pesangrahan atau penginapan bagi orang yang berpergian. Sedangkan istilah pesantren berasal dari kata santri atau sangsekertanya adalah shantri yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis. Dan menurut Kafrawi, hal itulah yang ke0mudian dimiliki oleh Sheikh Maghribi. Sebagai seorang ulama yang dilahirkan di Gujarat India, yang sebelumnya telah mengenal perguruan Hindu-Budha dengan sistem biara dan asrama sebagai proses belajar mengajar para biksu dan pendeta. Sistem pesantren menyerupai itu, hanya terjadi perubahan dari pengajaran agama Hindu dan Budha kemudian menjadi pengajaran agama Islam.
Seperti halnya yang pernah dirintis oleh para wali, dalam fase selanjutnya, berdirinya Pondok Pesantren tidak bisa lepas dari kehadiran seorang kyai. Kyai tersebut biasanya sudah pernah bermukim bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun untuk mengaji dan mendalami pengetahuan agama Islam di Makkah atau di Madinah, atau pernah mengaji pada seorang kyai terkenal di tanah air, lalu menguasai beberapa atau satu keahlian (fak) tertentu.
Kondisi lain yang tergambar dalam kehidupan kyai, juga sisi kehidupan kyai yang bermukim di sebuah desa. Langkah awal kyai untuk membangun lembaga pendidikan Islam, adalah dengan mendirikan langgar atau surau untuk sholat berjamaah. Yang biasanya diikuti oleh sebagian masyarakat desa. Pada setiap menjelang atau selesai sholat, kyai mengadakan pengajian agama, yang materi pengajiannya meliputi rukun Iman, rukun Islam dan akhlaq.
Dan digambarkan pula oleh Kafrawi mengenai daya tarik kyai sehingga terbentuknya sebuah pesantren ;
Berkat caranya yang menarik dan keihlasanya serta prilakunya yang sesuai dan senafas dengan isi pengajiannya, lama-lama jamaahnya bertambah banyak. Bukan saja orang-orang dalam desa tersebut yang datang, tetapi juga orang dari desa lain setelah mendengar kepandaiannya, keihlasan dan budi luhur kyai, datang kepadanya untuk ikut mengaji. Sebagian dari jamaah pengajian itu menitipkan anak-anaknya pada kyai. Dengan harapan supaya menjadi anak sholeh, memperoleh berkah dan ridho dari bapak kyai. Untuk menampung anak didiknya timbullah niat atau ide kyai untuk mendirikan tempat belajar dan pemondokan. Dan reaksi itu, untuk mendirikan pondok pesantren, biasanya didukung oleh orang tua santri dan seluruh masyarakat secara bergotong royong.

Jadi pada hakekatnya tumbuhnya suatu pesantren di mulai dengan adanya suatu pengakuan suatu lingkungan masyarakat tertentu terhadap kelebihan (kharismatik) seorang kyai dalam suatu keahlian (vak) tertentu serta kesalihannya, sehingga penduduk dalam lingkungan tersebut banyak datang untuk belajar menuntut ilmu kepadanya. Bahkan kyai dalam pedesaan sering menjadi cikal bakal dari berdirinya sebuah desa.
Seperti yang di bicarakan Karel A. Steenbrink, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pada dasarnya hanya mengajarkan agama Islam sedang sumber mata pelajaranya adalah kitab-kitab dari bahasa Arab. Dan pelajaran yang biasa dikaji dalam pesantren adalah Al-qur’an, dengan tajwidnya dan tafsirnya, Aqoid dan ilmu kalam, fighi dengan usul fighi, hadist dengan musthollah hadist, bahasa arab dengan ilmu alatnya, seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, bad dan aruld, tarikh manthiq dan tasawuf. Dan menurut Martin Van Bruinessen, kitab-kitab yang dikaji dalam pesantren biasanya, disebut kitab kuning, yang ditulis oleh ulama-ulama Islam pada abad pertengahan (antara abad 12 s/d 15).
Sedangkan metode yang digunakan dalam pesantren adalah sorogan dan wetonan. Istilah sorogan berasal dari bahasa jawa sorog yang berarti menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau asisten (pembantu). Penerapan metode ini, santri menghadap guru satu demi satu dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kemudian kyai membacanya perkalimat, menterjemahkan dan menerangkan maksudnya. Dan istilah wetonan berasal dari bahasa jawa, wektu yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu yaitu sebelum atau sesudah menjalankan sholat fardhu. Dan di jawa barat metode ini disebut dengan bondongan, atau di Sumatera di sebut halaqah. Untuk jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal, umumnya kenaikan tingkat seorang santri di tandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Apabila seorang santri telah menguasai sebuah kitab atau beberapa kitab yang telah dipelajarinya dan lulus, (imtihan / ujian) dari kyainya, ia bisa pindah ke kitab lain, misalnya dalam ilmu fiqh mereka megaji kitab Fathul Qorib syarah matan Taqrib (ibnu Qossim al Ghazi, 1512 M), kemudian Fathul Mu’in syarh Qurrutul ian (Zainuddin al-Maliba, 1574 M), Minhajut Tholibin (an Nawawi, 1277 M), Hasyiyatul Fathur Qorib (Ibrahim al-Bajuri, 1891), al-Iqna (Syaibin, 1569 M), Fathul Wahab dan dilanjutkan dengan Tuhfah (Ibnu Hajar, 1891 M) dan Nihayah (Romli, 1550 M).
Tetapi ada beberapa hal mengenai jenjang pendidikan yang terjadi dalam pesantren, bahwa diantara para santri ada yang mendalami secara khusus salah satu keahlian bidang dari kitab yang diajarkan maupun materi pengajaran. Misalnya ilmu Hadist dan tafsir. Di jawa untuk tahasus ini, seorang santri selain mendatangi seorang kyai besar, juga harus memiliki pondok pesantren tertentu. Seperti untuk mendapatkan ijazah, fathul wahab dan mahadli, seorang santri harus pergi ke pondok pesantren kyai Kholil, Lasem Jawa Tengah, untuk Jami’ul jawani dan Alfiyah ke pondok pesantren kyai Ma’sum dan seterusnya.
Dari fenomena di atas, dalam pesantren merupakan proses pembentukan tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pondok, yang di dalamnya secara umum terdapat tiga faktor Pertama, Lingkungan / sistem asrama dengan cara hidup bersama, Kedua, Prilaku kyai sebagai sentra-figure, Ketiga, pengenalan isi kitab-kitab yang dipelajari.
b. Sistem Nilai dalam Pesantren
Dalam pembahasan sistem yang dikembangkan oleh pesantren adalah sebuah pranata yang muncul dari agama dan tradisi islam. Secara khusus Nurcholis Madjid menjelaskan, bahwa akar kultural dari sistem nilai yang dikembangkan oleh pesantren ialah ahlu’l-sunnah wa-‘l-jama’ah. Dimana, jika dibahas lebih jauh akar-akar kultural ini akan membentuk beberapa segmentasi pemikiran pesantren yang mengarah pada watak-watak ideologis pemahamannya, yang paling nampak adalah konteks intelektualitasnya terbentuk melalui “ideologi” pemikiran, misalnya dalam fiqh- lebih didominasi oleh ajaran-ajaran syafi’iyah, walaupun biasanya pesantren mengabsahkan madzhab arbain, begitu juga dalam pemikiran tauhid pesantren terpengaruh oleh pemikiran Abu Hasan al-Ash’ary dan juga al-Ghazali. Dari hal yang demikian pula, pola rumusan kurikulum serta kitab-kitab yang dipakai menggunakan legalitas ahlu sunnah wal jama’ah tersebut (madzhab Sunni).
Secara lokalistik faham sentralisasi pesantren yang mengarah pada pembentukan pemikiran yang terideologisasi tersebut, mempengaruhi pula pola sentralisasi sistem yang berkembang dalam pesantren. Dalam dunia pesantren legalitas tertinggi adalah dimiliki oleh Kyai, dimana Kyai disamping sebagai pemimpin “formal” dalam pesantren, juga termasuk figur yang mengarahkan orientasi kultural dan tradisi keilmuan dari tiap-tiap pesantren. Bahkan menurut Habib Chirzin, keunikan yang terjadi dalam pesantren demikian itu, menjadi bagian tradisi yang perlu dikembangkan, karena dari masing-masing memiliki efektifitas untuk melakukan mobilisasi kultural dan komponen-komponen pendidikannya.
Akhirnya Abdurrahman Wahid menggarisbawahi, bahwa pranata nilai yang berkembang dalam pesantren adalah berkaitan dengan visi untuk mencapai penerimaan disisi Allah dihari kelak menempati kedudukan terpenting, visi itu berkaitan dengan terminologi “keikhlasan”, yang mengandung muatan nilai ketulusan dalam menerima, memberikan dan melakukan sesuatu diantara makhluk. Hal demikian itulah yang disebut dengan orientasi kearah kehidupan akherat (pandangan hidup ukhrawi). Bentuk lain dari pandangan hidup tersebut adalah kesediaan tulus menerima apa saja kadar yang diberikan kehidupan, walaupun dengan materi yang terbatas, akan tetapi yang terpenting adalah terpuaskan oleh kenikmatan rohaniah yang sangat eskatologi (keakheratan). Maka dari hal demikian pranata nilai ini memiliki makna positif, ialah kemampuan penerimaan perubahan-perubahan status dengan mudah serta flesibilitas santri dengan melakukan kemandirian hidup.
Maka jargon-jargon dan terminologi dalam pendidikan pesantren, terutama dalam mensuplimasi tata nilai ini adalah lebih menekankan sisi kehidupan yang mengedepankan unsur-unsur etika, moral dan spiritual daripada orientasi pembentukan pranata kecerdasan dan kepandaian, paling tidak visi yang ingin ditampilkan pesantren adalah adanya kehidupan yang seimbang dari dimensi kehidupan dunia dan akherat, walaupun menggunakan prioritas-pieoritas tertentu.
c. Tujuan Pendidikan Pesantren
Berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikan dengan jelas, misalnya dirumuskan dalam anggaran dasar, maka pesantren, terutama pesantren-pesantren lama pada umumnya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Hal ini terbawah oleh sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan motivasi berdirinya, dimana kyainya mengajar dan santrinya belajar, atas dasar untuk ibadah dan tidak pernah di hubungkan dengan tujuan tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki sosial maupun ekonomi.
Karenanya untuk mengetahui tujuan dari pada pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren, maka jalan yang harus ditempuh adalah dengan pemahaman terhadap fungsi yang dilaksanakan dan dikembangkan oleh pesantren itu sendiri baik hubungannya dengan santri maupun dengan masyarakat sekitarnya.
Hal demikian juga seperti yang pernah dilakukan oleh para wali di Jawa dalam merintis suatu lembaga pendidikan Islam, misalnya Syeih Maulana Malik Ibrahim yang dianggap sebagai bapak pendiri pondok pesantren, sunan Bonang atau juga sunan Giri. Yaitu mereka mendirikan pesantren bertujuan lembaga yang dipergunakan untuk menyebarkan agama dan tempat memperlajari agama Islam.
Tujuan dan fungsi pesantren sebagai lembaga penyebaran agama Islam adalah, agar ditempat tersebut dan sekitar dapat dipengaruhi sedemikian rupa, sehingga yang sebelumnya tidak atau belum pernah menerima agama Islam dapat berubah menerimanya bahkan menjadi pemeluk-pemeluk agama Islam yang taat. Sedangkan pesantren sebagai tempat mempelajari agama Islam adalah, karena memang aktifitas yang pertama dan utama dari sebuah pesantren diperuntukkan mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan agama Islam. Dan fungsi-fungsi tersebut hampir mampu mempengaruhi pada kebudayaan sekitarnya, yaitu pemeluk Islam yang teguh bahkan banyak melahirkan ulama yang memiliki wawasan keislaman yang tangguh.
Dari pada transformasi sosial dan budaya yang dilakukan pesantren, pada proses berikutnya melahirkan dampak-dampak baru dan salah satunya reorientasi yang semakin kompleks dari seluruh perkembangan masyarakat. Bentuk reorientasi itu diantaranya, karena pesantren kemudian menjadi legitimasi sosial. Bagian dari reorientasi dari fungsi dan tujuan tersebut digambarkan oleh Abdurrahman Wahid ialah, diantaranya pesantren memiliki peran mengajarkan keagamaan, yaitu nilai dasar dan unsur-unsur ritual Islam. Dan pesantren sebagai lembaga sosial budaya, artinya fungsi dan perannya ditujukan pada pembentukan masyarakat yang ideal. Serta fungsi pesantren sebagai kekuatan sosial, politik dalam hal ini pesantren sebagai sumber atau tindakan politik, akan tetapi lebih diarahkan pada penciptaan kondisi moral yang akan selalu melakukan kontrol dalam kehidupan sosial politik.
Apapun yang terjadi dalam dunia pesantren, termasuk sigmentasi fungsi dan tujuannya, sesuatu yang tidak dapat dipisahkan adalah, bahwa hubungan-hubangan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pesantren, karena adanya fenomena substansial dan mekanistik antara kyai, santri, metode dan kitab kuning sekaligus hubungan metodologisnya. Sebagaimana dalam pandangan Kafrawi ;
Peranan kulturilnya yang utama adalah penciptaan pandangan hidup yang bersifat khas santri, yang dirumuskan dalam sebuah tata nilai (value system) yang lengkap dan bulat. Tata nilai itu berfungsi sebagai pencipta keterikatan satu sama lain (homogenitas) dikalangan penganutnya, disamping sebagai penyaring dan penyerap nilai-nilai baru yang datang dari luar. Sebagai alat pencipta masyarakat, tata nilai yang dikembangkan itu mula-mula dipraktekkan dalam lingkungan pesantren sendiri / antara ulama / kyai dengan para santrinya maupun sesama santri. Kemudian di kembangkan di luar pesantren. Secara sosial tata nilai yang bersifat kulturil diterjemahkan ke dalam serangkaian etik sosial yang bersifat khas santri pula. Antara lain berkembangnya etik sosial yang berwatak pengayoman (patnorage). Etik sosial yang seperti ini lalu menghasilkan struktur kehidupan masyarakat yang berwatak populis.

Demikian tujuan pesantren pada umumnya tidak dinyatakan secara eksplisit, namun dari uraian-uraian di atas secara inplisit dapat dinyatakan bahwa tujuan pendidikan pesantren tidak hanya semata-mata bersifat keagamaan (ukhrawi semata), akan tetapi juga memiliki relevansi dengan kehidupan masyarakat.




d. Kurikulum Pendidikan Pesantren
Pada sebagian pesantren terutama pada pesantren-pesantren lama, istilah kurikulum tidak dapat diketemukan, walaupaun materinya ada di dalam praktek pengajaran, bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Bahkan dalam kajian atau hasil penelitian pembahasan kurikulum secara sistematik jarang diketemukan, seperti jika kita melihat hasil penelitian Karel A. Steenbrink. Tentang pesantren, ketika membahas sistem pendidikan pesantren, lebih banyak mengemukakan sesuatu yang bersifat naratif, yaitu menjelaskan interaksi santri dan kyai serta gambaran pengajaran agama Islam, termasuk Al-qur’an dan kitab-kitab yang dipakai sehari-hari.
Oleh sebab itu menurut Kafrawi, yang dimaksud dengan kurikulum pesantren adalah, seluruh aktifitas santri sehari semalam, yang kesemuanya itu dalam kehidupan pesantren memiliki nilai-nilai pendidikan. Jadi menurut pendapat di atas, pengertian kurikulum tidak hanya sesuatu yang berkaitan dengan materi pelajaran, tetapi termasuk di luar pelajaran banyak kegiatan yang bernilai pendidikan dilakukan di pesantren, seperti berupa latihan hidup sederhana, mengatur kepentingan bersama, mengurus kebutuhan sendiri, latihan bela diri, ibadah dengan tertib dan riyadlah (melatih hidup prihatin).
Akan tetapi untuk mempertajam pembahasan dengan kebutuhan merumuskan kurikulum, terutama yang berkaitan dengan materi pelajaran, maka pembahasan berikut mengacu pada interaksi mata pelajaran yang dimaksud.
Apabila ditinjau dari mata pelajaran yang diberikan secara formal oleh kyai, maka sebagaimana telah diuraikan bahwa pelajaran yang diberikan dapat dianggap sebagai kurikulum adalah berkisar pada ilmu pengetahuan agama dengan seluruh elemen atau cabang-cabangnya.
Dalam hal tersebut dipentingkan dalam pesantren adalah pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa Arab (ilmu sharaf, nahwu, dan ilmu-ilmu alat lainnya) dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan syariat (ilmu fiqh, baik ibadah maupun muamalat). Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Qur’an dan tafsirnya, hadist serta mustholahul hadist, begitu juga mengenai ilmu kalam, tauhid dan sebagainya, termasuk pelajaran yang diberikan pada tingkat tinggi. Demikian juga pelajaran tentang mantik (logika), tarikh serta tasawuf. Ilmu pengetahuan hampir tidak diajarkan dalam pesantren. Hal ini tentu saja berkaitan dengan pengetahuan kyai yang selama bertahun-tahun hanya mendalami ilmu-ilmu agama.
Untuk membahas metode, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ialah menggunakan metode wetonan dan sorogan. Dalam pengajaran metode tersebut tidak dikenal perjenjangan sebagaimana yang terdapat dalam lembaga pendidikan umum atau juga madrasah. Kenaikan tingkat ditandai dengan bergantinya kitab. Sedangkan metode evaluasi yang dipakai adalah dilakukan kyai atau santri-santri, untuk melihat kemampuan santri untuk mengikuti jenjang pengajaran kitab berikutnya. Dan bagian lain yang terjadi dalam pesantren ialah tidak ada batas masa belajar, santri bisa menentukan belajarnya, termasuk mencari pesantren lain yang punya keahlian-keahlian tertentu. Dengan demikian batas waktu tersebut sangat variatif dan juga mobilitas santri sangat tinggi untuk melakukan belajar, termasuk memilih keahlian dalam pondok-pondok tertentu.
Oleh sebab itu dapat dijabarkan, bahwa kurikulum pesantren sangat variatif, dengan pengertian pesantren yang satu berbeda dengan pesantren yang lain, dengan demikian ada keunggulan tertentu, dalam cabang-cabang ilmu-ilmu agama dalam masing-masing pesantren. Bahkan menurut Habib Chirzin, ketidak seragaman tersebut merupakan ciri pesantren salaf, sekaligus tanda atas kebebasan tujuan pendidikan.
Dari uraian di atas bukan berarti menunjukkan realitas pesantren yang statis, karena dalam beberapa kurun waktu dan kenyataanya, pesantren juga bersentuhan dengan efek-efek perubahan dunia pendidikanya, seperti di gambarkan oleh Karel A. Steenbrink, akhirnya pesantren melakukan refleksi dinamis pada dirinya, didalamnya sudah terdapat program-program belajar, dan juga melakukan perubahan sistem madrasah dan sekolah. Yang demikian juga proyek orientasi baru dalam dunia pesantren dengan elemenya.


B. TIPOLOGI PESANTREN
Secara garis besar, lembaga pesantren di Jawa Timur dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar yaitu:
a. Pesantren Salafi : yaitu pesantren yang tetap mempertahankan sistem (materi pengajaran) yang sumbrnya kitab–kitab klasik Islam atau kitab dengan huruf Arab gundul (tanpa baris apapun). Sistem sorogan (individual) menjadi sendi utama yang diterapkan. Pengetahuan non agama tidak diajarkan.
b. Pesantren Khalafi : yaitu sistem pesantren yang menerapkan sistem madrasah yaitu pengajaran secara klasikal, dan memasukan pengetahuan umum dan bahasa non Arab dalam kurikulum. Dan pada akhir-akhir ini menambahnya berbagai ketermpilan.
Menurut Mukti Ali dalam Pembangunan Pendidikan dalam Pandangan Islam, sistem pengajaran di Pondok Pesantren dalam garis besarnya ada dua macam yaitu :
a. Sistem Wetonan : pada sistem ini Kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai tersebut. Dalam sistem pengajaran yang semacam ini tidak mengenal absen. Santri boleh boleh datang dan tidak boleh datang, juga tidak ada ujian. Apakah santri itu memahami apa yang dibaca Kiai atau tidak, hal itu tidak bisa diketahui. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sistem pengajaran di Pondok Pesntren itu adalah bebas, yaitu bebas mengikuti kegiatan belajar dan bebas untuk tidak mengikuti kegiatan belajar.
b. Sistem Sorongan : pada sistem ini santri (biasanya yang pandai) menyedorkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu. Dan kalau ada kesalahan langsung dibetulkan oleh kiai itu. Di Pondok Pesantren yang besar, mungkin untuk dapat tampil di depan kiainya dalam membawakan/ menyajikan materi yang ingin disampaikan, dengan demikian santri akan dapat memahami dengan cepat terhadap suatu topik yang telah ada papa kitab yang dipegangnya.
c. Metode Muhawwarah
Muhawwarah adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap (conversation) dengan Bahasa Arab yang diwajibkan oleh pimpinan pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pondok. Di beberapa pesantren, latihan muhawwarah ini tidak diwajibkan setiap hari, akan tetapi hanya satu kali atau dua kali dalam seminggu. Sehingga dengan metode ini, santri dapat menguasai bahasa ibu (Bahasa Arab) dengan sendirinya, karena alam tersebut dilakukan secara terus menerus oleh santri.
d. Metode Mudzakarah
Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesfik membahas masalah diniyah seperti ibadah dan akidah serta masalah agama pada umumnya. Metode ini biasanya digunakan santri untuk menguji ketrampilannya baik dalam Bahasa Arab maupun mengutip sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik. Dalam metode ini, secara idak langsung santri diuji kemampuan beragumentasi sekaligus sampai sejauh mana materi maupun referensi yang dimilikinya dengan keluasan wawasan yang ada.
e. Metode Majelis Ta’lim
Majelis Ta’lim adalah media penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka. Para jama’ah terdiri dari berbagai lapisan yang memiliki latar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia maupun perbedaan kelamin. Pengajian semacam ini hanya diadakan pada waktu-waktu tertentu saja.
Kelima metode tersebut diatas dikategorikan ke dalam sistem pendidikan non klasikal. Selain sistem pendidikan non klasikal ini, pesantren juga menerapkan sistem pendidikan klasikal. Untuk sistem pendidikan yang kedua ini hanya dipakai oleh pesantren pesantren modern.
Sedangkan metode dari sistem klasikal ini, menurut Dawam Raharjo dapat berupa:
1. Metode Ceramah
2. Metode Kelompok
3. Metode Tanya jawab dan Diskusi
4. Metode Dramatisasi
Membahas lebih lanjut mengenai pesantren, Ziemak mengadakan klasifikasi jenis-jenis pesantren yang berdasarkan pada kelengkapan unsur-unsur pesantren. Dalam hal ini diasumsikan bahwa semakin lengkap unsur yang mendasari suatu pesantren, maka pesantren itu memiliki tingkatan yang makin tinggi. Tipe-tipe pesantren tersebut adalah:
Jenis A. Yaitu merupakan jenis pesantren yang paling sederhana. Biasanya dianut oleh para kiai yang memulai pendiiran pesantren. Dan elemennya pun disamping kiai hanya ada masjid dan santri. Dengan demikian aktifitasnya pun maksimal hanya pada kitab-kitab Islam dan penguasaan serta pemahamannya. Usahnya dititik beratkan sekedar pada usaha menarik para santri.
Jenis B. Yaitu pesantren yang lebih tinggi tingkatannya, terdiri dari komponen-komponen; Kiai , masjid, pondok, dan santri imana pondok berfungsi sebagai tempat untuk menampung para santri agar lebih dapat bronsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Jenis C. Merupakan kelompok pesantren yang ditambah dengan lembaga pendidikan, yaitu terdapat komponen Kiai, masjid, santri, pondok, madrasah (primer). Aktifitas di pondok jenis ini dimaksudkan agar siswa/santri dapat memahami pengetahuan agama dan pengetahuan umum yang berlaku secara internasional. Dan dalam menempuh pendidikan di lembaga ini diakui oleh pemerintahan.
Jenis D. Merupakan kelompok pesantren yang memiliki fasilitas lengkap dengan pemahaman elemen madrasah (primer, sekunder, dan tersier), yaitu lembaga pendidikan yang formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dengan fasilitas belajar mengajar yang lengkap, seperti laboratorium dan perpustakaan untuk menunjang proses belajar pesantren.
Jenis E. Yaitu kelompok pesantren besar dan berfasilitas lengkap, terdiri dari pesantren induk dan pesantren cabang. Disini terdapat penambahan elemen madrasah dari yang primer hingga tersierdan fasilitas penunjang ruang ketermpilan. Pesantren induk hanya diperuntukan bagi santri yang telah tamat dalam penguasaan kitab-kitab Islam, dan hanya tinggal pematangan watak dan pengemblengan rohani secara rutin serta penguasan bahasa pengantar dasar pendidikan, yaitu Bahasa Arab. Sedangkan pesantren cabang merupakan tempat penggemblengan dasar-dasar penguasaan dan pemahaman kitab-kitab Islam serta beberapa pengenalan keahlihan dan keterampilan.
Hasil penelitian Arifin di Bogor menunjukkan adanya lima macam pola fisik pondok pesantren, yaitu:
Pola pertama:
Terdiri dari masjid dan rumah Kiai, pondok pesantren ini masih berifat sederhana, dimana Kiai mempergunakan masjid atau rumahnya sendiri sebagai sarana untuk tempat interaksi belajar mengajar. Dalam pola semacam ini, santri hanya datang dari daerah sekitar pondok pesantren itu sendiri, sehingga tidak diperlukannya sarana untuk bermukim bagi santri.
Pola kedua:
Pada pola berikut ini terdiri dari masjid, rumah Kiai dan pondok (asrama) sebagai tempat menginap para santri yang datang dari jauh. Sehingga tidak mengganggu mereka dalam menuntut ilmu pada Kiai tersebut.
Pola ketiga
Terdiri dari masjid, rumah kiai dan pondok dengan sistem wetonan dan sorogan. Pada pondok pesantren yang merupakan tipe ini telah menyelenggarakan pendidikan formal seperti madrasah sebagai sarana penunjang bagi pengembangan wawasan para snatri.
Pola keempat
Untuk pola ini, pondok pesantren selain memiliki, komponan-komponen fisik seperti pola ketiga, memiliki pula tempat untuk pendidikan ketrampilan seperti kerajinan, perbengkelan, toko, koperasi, sawah ladang dan sebaginya. Sehingga sebagi sarana edukatif lainnya sebagai penunjang memiliki nilai lebih dibanding dengan pola ketiga.
Pola kelima :
Dalam pola yang terakhir ini pondok pesantren telah berkembang dengan pesatnya sesuai dengan perkembangan zman dan yang lazim disebut dengan pondok pesantren moderen atau pondok pesantren pembanunan. Disamping masjid, rumah kyai/ustadz, pondok, madrasah dan atau sekolah umum, terdapat pula bangunan-bangunan fisik lainnya sebagai penunjang seperti; perpustakaan, dapur umum, rumah makan umum, kantor administrasi, toko/unit usaha, koperasi rumah penginapan tamu, ruang operasi dan sebagainya.



C. POLA LAMA DUNIA PESANTREN
Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren memiliki kecenderungan untuk mempertahankan tradisi yang berorientasi pada pikiran-pikiran ulama ahli fiqh, hadits, tafsir dan tasawuf yang hidup antara abad 7 sampai dengan abad 13, sehingga muncul kesan yang melekat bahwa dalam beberapa hal muslaim tradisional mengalami stagnasi.
Hal ini tampak pada beberapa hal yang menjadi ciri umum pesantren yang mempertahankan pola lama, antara lain:
1. Fisik
Hasil penelitian Arifin di Bogor menunjukkan adanya lima macam pola fisik pondok pesantren, yang apabila diklasifikasikan pada pola lama dan modern, nampak bahwa pola pertama, kedua dan ketiga, merupakan pola lama
Sementara menurut Zimek dalam mengklasifikasikan unsur-unsur kelengkapan pesantren, membagi menjadi lima tipe. Dari lima tipe tersebut sudah dicermati smenunjukkan kategori jenis lama dan modern. Untuk jenis lama antara lain:
Jenis A. yaitu merupakan jenis pesantren yang paling sederhana. Biasanya dianut oleh para kyai yang memulai pendirian pesantren. Dan elemennya pun disamping kyai hanya ada masjid dan santri. Dengan demikian aktivitasnya pun maksimal hanya pada kitab-kitab Islam dan penguasaan serta pemahamannya. Usaha dititik beratkan sekedar pada usaha menarik santri.
Jenis B. Yaitu pesantren yang lebih tinggi tingkatannya, terdiri dari komponen-komponen; Kyai, masjidm pondok, dan santri. Dimana pondok berfungsi sebagai tempat untuk menampung para snatri agar lebih dapat berkonsentrasi dalam mempelajari agama islam
Menurut Nurcholis Madjid, dalam menyoroti aspek lingkungan, bahwa lingkungan pesantren merupakan hasil pertumbuhan tidak berencana, pengaturan tata kota, meskipun merupakan ciri khas namun terkesan kurang direncanakan secara matang, sehingga perkembangannya cenderung sporadis. Kamar asramanya sempit, pendek, cendela terlalu kecil dan pengaturannya pun semrawut, selain itu minim peralatan. Jumlah kamar mandi dan WC tidak sebanding dengan penghuni pondok, bahkan ada yang tidak menyediakan fasilitas ini, sehingga para santrinya mandi dan buang air di sungai. Kalaupun ada kondisinya tidak memenuhi syarat sistem sanitasi modern dan sehat. Halamannya tidak teratur, gersang, dimusim kemarau gersang, dimusim hujan becek, kadang-kadang sampah berserakan di sana sisni. Madrasah atau ruangan kelas yang digunakan belajar kurang memenuhi persyaratan metodik-didaktik atau ilmu pendidikan yang semestinya, seperti ukuran yang terlalu sempit atau terlalu luas. Antara dua ruang kelas tidak dipisahkan oleh suatu penyekat, ataupun kalau ada penyekatnya tidak tahan suara sehingga gaduh. Perabotnya yang berupa bangku, papan tulis, dan lain-lain juga kurang mencukupi baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Tempat ibadah biasanya mengecewakan, laantainya kotor, tempat wudlu-nya ditempat yang keruh dan kotor, arsitek bangunannya tidak menunjukkan efesiensi dan kerapian, penerangan terbatas, dan lain-lain.
2. Non Fisik
Dikaji dari aspek non fisik, pesantren pola lama sistem pengajarannya berbentuk non klasikal, dengan metode pengajaran berbentuk; Sorogan, wetonan, bandongan, halaqah dan hapalan, dengan mengkaji kitab awal; cabang ilmu fiqh meliputi: Safinatul al-Sholah, Safinatu al-Najah, Fathu al-Qarib, Taqrib, Fathu al-mu’in, Minhaju al-Qawiem, Mutmainnah al-Iqnah, Fathu al-Wahab. Cabang ilmu tauhid meliputi; Aqidatu al-awwam (Nadzham), bad’u al-amal (Nadzham), dan sanusiyah. Cabang ilmu tasawuf; al-Nasha’ih-u al-Diniyah, irsyadu al-‘Ibad, Tanbighu al-Ghafilin, Minhaj al-‘Abidin, al-Da’wat-u al-Tammah, al-Hikam, Risalat-u al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah, Bidayat-u al-Hidayah. Cabang Ilmu Nahwu Sharaf; al-Maqsud (nazham), ‘Awamil (nazham), Imrithi (nazham), Ajurumiyah, Kaylani, Mirwat-u al-I’rab, Alfiyah (nazham), Ibnu al-‘Aqil, dan dalam bidang akhlaq adalah ta’lim al-Muta’allim.
Sistem, materi dan metode kajian diatas, dipandang dari sudut pengembangan intelektual, sistem ini hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu, serta bersedia mengorbankan waktu yang cukup besar untuk studi ini. Dari segi pola kepemimpinan, cendrung Kiai sentris dengan manajemen otoritarinistik, yang pada akhirnya kurang perspektif, apabila meninggal dunia, maka pesantren gulung tikar. Dalam mempertahankan karisma, Kiai memelihara prinsip keep distance atau keep aloof, yakni jaga jarak ketinggian dengan para santri. Cenderung religio-feodalisme, yakni menjadi pemimpin agama sekaligus merupakan traditional mobility dalam masyarakat feodal, dan feodalisme yang terbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan jauh lebi berbahaya dari pada feodalisme biasa. Dan tidak memiliki kecakapan teknis, sehingga menjadi sala satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dari perkembangan zaman.
yang tidak terjembatani antara kyai serta keluarganya disatu pihak dan para Menurut Abdurrahman Wachid walaupun telah dibentuk pengurus yang bertugas melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan jalannya pesantren sehari-hari, kekuasaan mutlak senantiasa masih berada di tangan sang kyai. Karenanya, betapa demokratisnya susunan pimpinan di pesantren, masih terdapat jarak asatid dan santri di pihak lain; kyai cenderung bertindak sebagai pemilik tunggal Directeur eingenaur. Kedudukan yang dipegang seorang kyai adalah kedudukan ganda sebagai pengasuh dan sekaligus pemilik pesantren dan secara kultura kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di pulau jawa.
Dari aspek prilaku santri; menggeluti kehidupan sufistik, melalui wirid dan ngalab berkah pada kuburan kyai tua dalam berpakaian, songkok danb sarung kurang dapat membedakan anatara pakaian belajar dengan pakaian tidur. Dalam hal kesehatan; penyakit yang biasanya diasosiasikan dengan para santri adalah penyakit gudis. Dalam bertingkah laku cenderung liberal dalam pesantren, tetapi rendak dan minder dalam tata pergaulan dengan masyarakat luas. Dan perilaku yang paling tidak simpatik adalah praktek para penghuni pondok (kamar) yang bertentangan dengan ajaran moral Islam.
D. MODERNISASI PESANTREN
Menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat, dunia pesantren mengalami pergeseran kearah perkermbangan yang lebih positif, baik secara struktural maupun kultural, yang menyangkut pola kepemimpinan, pola hubungan pimpinan dan santri, pola komunikasi, cara pengambilan keputusasan dan sebagainya, yang lebih memperhatikan prinsip-prinsip manajemen ilmiah dengan landasan nilai-nilai Islam. Dinamika perkembangan pesantren semacam inilah yang menampilkan sosok pesantren yang dinamis, kreatif, produktif dan efektif serta inovatif dalam setiap langkah yang ditawarkan dan dikembangkannya. Sehingga pesantren merupakan lembaga yang adaptif dan antisipatif terhadap perubahan dan kemajuan zaman dan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai relegius.







Mencermati perkembangan yang terjadi pada pesantren, antara lain;
1. Fisik
Berdasarkan hasil penelitian Arifin, pola keempat dan kelima, menunjukkan pola pesantren modern. Antara lain;
Pola ke-empat :
Untuk pola ini, pondok pesantren selain memiliki komponen-komponen fisik seperti pola ketiga memiliki pola tempat untuk pendidikan ketrampilan seperti kerajinan, perbengkelan, toko, koperasi, sawah, ladang dan sebagainya. Sehingga sebagai sarana edukatif lainnya sebagai penunjang memiliki nilai lebih dibanding dengan pola ketiga.
Pola kelima :
Dalam pola yang terakhir ini pondok pesantren telah berkembang dengan pesatnya sesuai dengan perkembangan zman dan yang lazim disebut dengan pondok pesantren moderen atau pondok pesantren pembanunan. Disamping masjid, rumah kyai/ustadz, pondok, madrasah dan atau sekolah umum, terdapat pula bangunan-bangunan fisik lainnya sebagai penunjang seperti; perpustakaan, dapur umum, rumah makan umum, kantor administrasi, toko/unit usaha, koperasi rumah penginapan tamu, ruang operasi dan sebagainya.
Sedangkan menurut klasifikasi Zimek Pada jenis C, B, dan E dapat dikategorikan pola moderen, antara lain :
Jenis C. Merupakan kelompok pesantren yang ditambah dengan lembaga pendidikan, yaitu terdapat komponen Kiai, masjid, santri, pondok, madrasah (primer). Aktifitas di pondok jenis ini dimaksudkan agar siswa/santri dapat memahami pengetahuan agama dan pengetahuan umum yang berlaku secara internasional. Dan dalam menempuh pendidikan di lembaga ini diakui oleh pemerintahan.
Jenis D. Merupakan kelompok pesantren yang memiliki fasilitas lengkap dengan pemahaman elemen madrasah (primer, sekunder, dan tersier), yaitu lembaga pendidikan yang formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dengan fasilitas belajar mengajar yang lengkap, seperti laboratorium dan perpustakaan untuk menunjang proses belajar pesantren.
Jenis E. Yaitu kelompok pesantren besar dan berfasilitas lengkap, terdiri dari pesantren induk dan pesantren cabang. Disini terdapat penambahan elemen madrasah dari yang primer hingga tersierdan fasilitas penunjang ruang ketermpilan. Pesantren induk hanya diperuntukan bagi santri yang telah tamat dalam penguasaan kitab-kitab Islam, dan hanya tinggal pematangan watak dan pengemblengan rohani secara rutin serta penguasan bahasa pengantar dasar pendidikan, yaitu Bahasa Arab. Sedangkan pesantren cabang merupakan tempat pengemblengan dasar-dasr penguasaan dan pemahaman kitab-kitab Islam serta beberapa pengenalan keahlihan dan keterampilan.
2. Non Fisik
Sebagai upaya mengantisipasi perkembangan yang terjadi agar pesantren tetap eksis, maka terjadi suatu perubahan; dalam hal sikap pesantren semakin terbuka menerima peruabahan yang terjadi di luar pesantren. Pesantren yang di kesankan sebagai gejala pedesaan, mengalami perubahan menjadi gejala urban (perkotaan), kesan konservatif berubah menjadi liberal, pola kepemimpinan kyai centris berubah menjadi pola kolektif dalam bentuk yayasan dan organisasi.
Dalam hal kepengurusan pesantren, menurut Abdurrahman Wachid, kepengurusan pesantren adakalanya berbentuk sederhana, dimana kyai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal, sedangkan kepemimpinannya itu seringkali diwakilkan kepada seorang ustadz senior selaku “lurah pondok” . Dalam pesantren yang telah mengenal bentuk organisatoris yang komplek, peranan “lurah pondok” ini digantikan oleh susunan pengurus lengkap dengan pembagian tugas masing-masing, walaupun ketuanya masih dinamai lurah juga.
Dari aspek sistem banyak pesantren yang menggunakan sistem klasikal, dengan metodologi yang disesuaikan dengan metode pengajaran moderen, yaitu; metode ceramah, metode kelompok, metode tanya jawab dan diskusi, metode demonstrasi dan eksperimen, metode dramatisasi. Dalam hal pengembangan materi pembelajaran, pesantren modern tidak hanya mematok kitab tertentu sebagaimana pesantren lama, namun sudah mengembangkan materi dalam bentuk kurikulum dengan muatan yang lebih komprehensif.





Kecuali dari sudut pandang fisikal, kemajuan yang telah berkembang dalam dunia pesantren juga dapat dipandang dari sudut-sudut pandang lain, antara lain, dari segi kelembagaan, kurikulum, dan metode pembelajarannnya.
a. Kelembagaan
Sejak Belanda mendirikan lembaga pendidikan umum, sekolah rakyat atau sekolah Desa dengan masa belajar selama 3 tahun di beberapa tempat di Indonesia pada tahun 1870-an telah mempengaruhi lembaga pendidikan Islam, Perkembangan selanjutnya tradisi baru pendidikan itu menjadi inkulturalisasi terhadap tradisi Asli pesantren atau surau. Banyak pesantren atau surau melakukan perubahan. Misalnya memasukkan mata pelajaran umum. Tidak hanya itu saja, ada pesantren atau surau berubah menjadi madrasah dan berubah dari fungsi aslinya.
Dalam masa-masa kesulitan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada dekade 1950-an dan awal 1960-an, pembaharuan pesantren banyak berkenaan dengan pemberian ketrampilan khususnya dalam bidang pertanian. Santri diharapkan mempunyai bekal dan untuk mendukung ekonomi pesantren. Karena pada saat itu terjadi krisis ekonomi sehingga banyak pesantren di pedesaan seperti Tebuireng dan Rejoso, mengarahkan pada santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vacational dalam bidang pertanian seperti penanaman padi, kelapa, tembakau, kopi dan lainnya. Hasil penjualan dari usaha pertanian seperti itu digunakan untuk membiayai pesantren.




Pada waktu itu pesantren-pesantren besar seperti Gontor, Tebuireng, Denanyar, Tambak beras, Tegalrejo mulai mendirikan dan mengembangkan koperasi. Dengan kopersi ini, minat kewirausahaan para santri dibangkitkan. Untuk kemudian diarahkan menuju pengembangan pengelolaan usaha-usaha ekonomi pesantren dan pengembangan ekonomi masyarakat. Itulah sebabnya, pemetaan pesantren terakhir di 10 provinsi menunjukkan bahwa dari 6015 pesantren yang diamati terdapat sebanyak 3.789 atau 63% yang sudah memiliki aktifitas ekonomi sedangkan jenis kegiatan ekonomi yang banyak dilakukan adalah koperasi (48,51%) dan pertanian 15,04%. Selanjutnya bidang peternakan 5,65% dan perikanan 5,38%. Sementara jenis-jenis lainnya seperti perbengkelan, home industri, jasa, hanya dibawah 5%.

Setelah pesantren dan sistem kelembagaan marasah modern berada di bawah tanggung jawab dan pengawasan Departemen Agama maka banyak pesantren yang mendirikan marasah.
Pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan karena berlangsungnya modernisasi pesantren di Jawa sejak masa orde baru. Dalam perubahan-perubahan itu, pesantren kini memiliki empat jenis pendidikan. “Pertama, pendidikan yang berkonsentrasi pada tafaqquh fi al-din, kedua, pendidikan berbasis madrasah, ketiga, pendidikan berbasis sekolah umum dan keempat, pendidikan berbasis ketrampilan”.
Hal ini berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh Dr.Budiono, Ka.Balitbang DepDiknas RI, pada dasarnya pemerintah mulalui system pendidikan nasionalnya mencoba memayungi lebih nyata seluruh jalur pendidikan di negeri ini tanpa ada diskriminasi pendidikan. Menurutnya sekarang ini madrasah dan pesantren selalu termarginalkan oleh pemerintah, padahal pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang sudah banyak memberikan pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dengan demikian Budiono mengharapkan perubahan-perubahan yang terjadi di pesantren dapat memberikan konstribusi pemikiran dalam menentukan arah serta warna pendidikan nasional di masa depan. Budiono juga sadar, pesantren dan sekolah lainnya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, akan tetapi melalui kerjasama bersifat kemitraan antara pemerintah dan masyarakat, kekurangan tersebut dapat diminimalisir.
Sebenarnya persoalan yang kemudian timbul dari perubahan madrasah yaitu menyangkut pembedaan antara lembaga umum dan lembaga agama, ketika madrasah dijadikan sekolah umum atau sama dengan sekolah umum maka sulit bagi kita menyebutkan mana yang berorientasi pada ilmu agama atau mengajarkan ilmu agama ? karena madrasah sekarang diharuskan mengikuti program-program pengajaran yang sama dengan sekolah umum dari pemerintah. Hal ini madrasah menjadi tidak independent.
Modernisasi pesantren telah banyak mengubah sistem dan kelembagaan pendidikan pesantren. Perubahan yang sangat mendasar misalnya terjadi pada aspek-aspek tertentu dalam kelembagaan.
Modernisasi pesantren selama ini telah merubah fungsi utamanya sebagai reproduksi ulama. Fungsi pesantren menjadi luas karena adanya berbagai tuntutan dan kebutuhan zaman. Fungsi ganda pesantren yaitu bidang keagamaan dan umum akan menghilangkan identitas pesantren sebagai pendidikan tradisional. Dalam pandangan lain Nurcholish Madjid mengatakan : “Dunia pendidikan Islam harus memodernisasi diri guna mengejar ketinggalannya dan untuk memenuhi tuntutan teknologi di masa depan.”
Perkembangan terakhir menunjukkan ada pesantren khusus yang menitik beratkan pada teknologi tertentu, seperti peternakan, pertanian, perikanan, dan lainnya. Pesantren melakukan perubahan tersebut sebagai respon terhadap pendidikan umum yang terlebih dahulu mengembangkan MIPA.
Pondok pesantren Al-Falah Pamekasan Jawa Timur yang didirikan tahun 1924 oleh K.H Muhamad Toha Jamaluddin. Pesantren ini sekarang di asuh anaknya K.H Lutfi Thoha, Pesantren ini mengalami kemajuan pesat baik sisi kelembagaan maupun aktifitasnya. Dari sisi kelembagaan selain sudah memilki badan hukum yayasan, juga sudah mendirikan madrasah formal mulai tingkt dasar (MI),menengah (MTs) dan Menengah Atas (MA) dari sisi kegiatan, sudah mengembangkan aktifitas ekonomi seperti koprasi simpan pinjam yang didirikan 1989. pada 1993 bersama ICMI Orsat pamekasan, membenuk baitulmal wat tamwil. Dalam bidang Industri kecil pesantren ini memiliki usaha konfeksi (garmen) dan kerajinan tangan. Dalam bidang agrobisnis pesantren telah memiliki lahan 1,4 Ha yang dikhususkan untuk penanaman jagung. Hal senada juga dilakukan pondok pesantren Hidayatullah Balikpapan Kalimantan Timur yang didirikan padatahun 1971, pesantren ini juga mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi produktif dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Dimana kegiatan ekonomi yang dilakukan adalah penerbitan majalah suara Hidayatullah pada 1986 yang didistribusdikan keseluruh Indonesia, Untuk bidang perdagangan, pesantren ini memiliki CV.Hudaya yang bergeak dalam bidang perdagangan (pertokoan swalayan) kebutuhan rumah tangga dan memasarkan hasil-hasil pertanian yang diproduksi pesantren. Pesanten juga mengembangkan peternakan, perikanan dan jasa. Bidang jasa pesantren memiliki lembaga antara lain CV. Du’afa (bergerak dalam bidang konstruksi) dan angkutan umum dalam kota. Selain itu, dalam bidang peternakan pesantren ini menggunakan lahan seluas 10 Ha yang memiliki sapi potong 120 ekor da ayam potong 3000 ekor.

Sistem pendidikan Islam tradisional khususnya pesantren yang melakukan usaha modernisasi, usaha-usaha melakukan pembaharuan misalnya muncul pesantren pertanian, peternakan, pesantren perikanan dan sebagainya. Eksperimen pesantren tersebut mencoba meniru Al-Azhar. Gagasan ini masih belum konkrit tentang konsep secara epistemologi keilmuan umum dalam wacana pendidikan Islam sekarang.

Sejalan dengan fungsi dari kelembagaan pesantren, Arief Subhan menambahkan, selama ini pesantren telah menjalankan fungsinya tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, yaitu mengajarkan ilmu-ilmu tradisional Islam, tetapi lebih dari itu, sebagai penjaga dan pemelihara tradisi-tradisi Islam dan sebagai sumber repoduksi otoritas keislaman di lingkungan masyarakat Muslim.
Oleh karena itu, tidak usah dipaksakan untuk mengadakan pesantren pertanian, peternakan, perikanan, agro industri dan sebagainya. Bila hal itu terjadi, hanya akan menambah keruwetan. Serahkan kesemuanya pada IAIN dan yang lain. Biarkan pesantren sebagaimana fungsinya dan harus independen tanpa ada intervensi dari pemerintah, serta memberikan pelayanan keagamaan kepada masyarakat sekitar.




B. Kurikulum
Modernisasi yang dilakukan Gontor sangat berbeda dengan pesantren-pesantren yang lain di Indonesia. Gontor telah memberlakukan kurikulum yang sangat ketat. Santri harus mengikuti seluruh peraturan dalam pendidikan secara reguler dan patuh. Kurikulum Gontor mencoba memadukan antara tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat yang diwujudkan secara baik dalam sistem pengajaran maupun pelajarannya. “Sistem pendidikan pada Pondok Modern Gontor dijadikan sebagai model dalam memodernisasi pendidikan yang digagas oleh Nurcholis Madjid”

Sebenarnya gagasan modernisasi pesantren bertitik tolak dari modernisasi pendidikan Islam yang mempunyai akar-akar dalam gagasan tentang modernisasi pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan yaitu modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam yang merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum muslimin dimasa modern. Karena itu, pemikiran kelembagaan Islam (termasuk pendidikan) harus dimodernisasi sesuai dengan kerangka modernitas.
Gagasan modernisasi pendidikan Islam diawali oleh Ismail Rozi al-Faruqi yang mencoba merumuskan langkah-langkah Islamisasi sains, yang meliputi :
Penguasaan disiplin ilmu modern, penguasaan warisan Islam, penentuan relevansi Islam dengan sain modern, pencarian sintesa kreatif antara wawasan intelektual Islam dan modern, pengarahan pemikiran Islam untuk mencapai kedekatan kepada Allah.

Hal ini terjadi pengintegrasian antara ilmu Islam dan ilmu umum (Islamisasi sains). Dalam konteks Indonesia, gagasan modernisasi Islam pada awal abad 20 dengan membentuk lembaga-lembaga pendidikan modern yang menggunakan sistem pendidikan kolonial Belanda. Gagasan ini diprakarsai oleh organisasi modernis seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad dan lain-lain.
Akan tetapi menurut Abdul Munir Mulkan, usaha integrasi kedua sistem ilmu (ilmu agama dan ilmu umum) hanya akan menambah persoalan makin ruwet. Ini disebabkan belum tersusunnya konsep ilmu integral yang ilmiah yang mampu mengatasi dikotomi ilmu umum dan agama itu sendiri. Integrasi kurikulum pesantren tidak lebih sebagai penggabungan dua sistem ilmu tanpa konsep. Akibatnya, tujuan praktis untuk meningkatkan daya saing lulusan dengan sekolah umum, menjadi sulit dipenuhi.
Keadaan tersebut menurut Ahmad El Chumaedy, pesantren dipaksa memasuki ruang konstestasi dengan institusi pendidikan lainya, sehingga memposisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat. Menurutnya pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya. Oleh karena itu, Chumaedy mengharapkan pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non- agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Kalau masih berkutat pada cara lama yang kuno dan ketinggalan zaman, maka pesantren menurutnya, akan sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya.
Modernisasi yang dilakukan beberapa pesantren tersebut tidak seperti yang dilakukan dari sekolah umum plus yang dikembangkan di kalangan modernis. Mungkin modernisasi yang dilakukan pesantren mengacu pada pembentukan kreativitas dan daya kritis santri seperti yang semula menggunakan sistem halaqoh dan sorogan yang menekankan aspek kongnitif serta memandang santri untuk mandiri, seperti di Gontor. Tetapi adanya opini yang cukup kuat, modernisasi pesantren dilakukan karena adanya ekspansi dari sekolah umum plus, sehingga pesantren memasukkan ilmu-ilmu umum dalam kurikulum pesantren.

Hal ini memang menimbulkan persoalan tersendiri dalam tubuh pesantren yang mengalami modernisasi. Kebanyakan ilmu alam yang mereka (pesantren) masukkan dalam kurikulum tidak mempunyai hubungan dengan Islam. Sebagai contoh Pondok Modern Gontor salah satunya yang memasukkan kurikulum pelajaran umum, bahasa Inggris. Jelas sekali pelajaran bahasa Inggris tidak ada hubungannya dengan tradisi keilmuan dalam Islam. Hal ini beda dengan bahasa Arab yang digunakan untuk mempelajari kitab kuning dalam pesantren tradisional. Bahasa Arab mempunyai hubungan yang erat dengan bahasa Al-Qur’an.
Kalau terus-menerus dilanjutkan, hal ini akan berdampak lain seperti seorang santri yang intens dalam mempelajari bahasa Inggris atau matematika (hitung). Maka akan timbul asumsi atau opini dalam masyarakat tentang pemaknaan santri. Pemaknaan santri sekarang, orang/murid yang menuntut ilmu agama bukannya orang yang mahir berbahasa Inggris atau pandai berhitung.

Dangan demikian perbedaan dan pemilahan di atas terjadi secara alami berkembang di masyarakat. Pemaknaan santri sejak dulu hingga sekarang masih sebagai mereka yang intens pada tradisi Islam, bukan sebaliknya.

C. Metodologi
Pembaharuan pertama, dilakukan Madrasah Adabiyah yang mengadopsi seluruh kurikulum Belanda. Hanya memasukkan pelajaran agama 2 jam dalam sepekan. Selaras dengan itu, Muhammadiyah juga mengadopsi sistem dan kelembagaan pendidikan Belanda secara cukup konsisten dan menyeluruh seperti MULO, HIS, dan lain-lain. Muhammadiyah hanya memasukkan pelajaran agama yaitu metode Qur’an ke dalam kurikulumnya. Hal ini juga terjadi di pesantren dengan mengadopsi aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik dan metode pengajaran dan sebagainya. Misalkan Pondok Modern Gontor Ponorogo melakukan modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam Indigenous, asli Indonesia.
Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta mengambil tempat paling depan dalam merambah bentuk respon pesantren terhadap Ekspansi pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam. Peantren Mambaul Ulum yang didirikan Susuhunan Pakubuwono ini pada tahun 1906 merupakan perintis dari penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam pendidikan pesantren. Menurut laporan inspeksi pendidikan belanda pada tahun tersebut, pesantren mambaul ulum telah memasukkan mata pelajaran membaca (tulisan latin), Aljbar, dan berhitung kedalan kurikukulmnya. Respon yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman Pondok Modern Gontor. Berpijak pada basis system dan kelembagaan pesantren, pada 1926 berdirilah Pondok Modern Gontor. Pondok ini selain memasukkan sejumlah mata pelajaran umum kedalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya untuk mempelajari Bahasa Inggris (selain bahasa Arab) dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra kurikulker seperti olahraga, kesenian dan sebagainya.
Modernisasi pesantren menemukan momentumnya sejak akhir 1970-an dengan mengubah sistem dan kelembagaan pendidikan pesantren. Lebih-lebih banyak pesantren tidak hanya mengembangkan madrasah sesuai dengan pola Departemen Agama, tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah umum dan universitas umum.
Dalam pengamatan Abdul Munir Mulkhan penggabungan kedua ilmu (ilmu agama dan ilmu umum) dengan sistem kebenaran dan metodologi berbeda sebagai akibat modernisasi, justru bisa menumbuhkan sikap ambivalen peserta didik dan bisa mengganggu perkembangan jiwanya. Dia menambahkan, penggabungan ilmu dalam sistem kurikulum pesantren modern telah menyebabkan peserta didik keberatan beban dari yang seharusnya bisa mereka pikul. Akibat lebih lanjut ialah pengembangan kemampuan peserta didik dalam menguasai ilmu yang terkesan lambat dan hasil belajar yang cenderung rendah.
Sehingga tidak heran pesantren-pesantren tersebut semakin formalis dengan sistem pengajarannya kepada santri. Adanya kurikulum yang ketat dan sistem perjenjangan telah merubah metode yang khas dalam pesantren. Di sini santri dituntut aktif dan kreatif. Lebih jauh lagi pesantren mengikuti program pemerintah yang sangat formal akademis. Di sini juga santri dijadikan seperti barang yang siap untuk diproduksi untuk menjadi ini dan itu.
Sistem yang dikembangkan pesantren modern telah menekankan pada penguasaan materi pelajaran. Karena adanya waktu dan tingkatan yang terbatas dalam proses belajar mengajar. Kecenderungan sistem pengajaran yang berorientasi pada ranah kognitif terlihat pada gagasan Habibie dan kalangan ICMI yang mengembangkan pesantren sekaligus sebagai wahana untuk menanamkan apresiasi dan bahkan bibit-bibit keahlian dalam bidang sains-teknologi.
Di sini pesantren tidak hanya menciptakan interaksi dan interpretasi keilmuan yang lebih inteks dan berpaduan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum yang berkaitan dengan sains dan teknologi, tetapi juga penguasaan terhadap sains-teknologi untuk kepentingan/keperluan dalam masa industri dan pasca industri.
Oleh sebab itu Sekarang sistem pendidikan Islam menurut Azra : “Semakin sangat formal pendidikannya, hanya menekankan aspek pengajaran. Sementara aspek learning-nya, aspek pembentukan kepribadiannya terabaikan.
Hal ini dapat di jelaskan bahwa penekanan santri pada penguasaan kognitif lebih ditekankan. Santri dituntut besar menggunakan akal pikirnya dan intelektualnya. Lebih-lebih orientasinya pada pasar industri. Maka tidak mustahil anak diibaratkan seperti produk, padahal orientasi pendidikan Islam tidak hanya ilmu dan teknologi. Biasanya anak didik yang memfokusnya sains dan teknologi akan mengabaikan moralnya. Seperti yang terjadi di negara-negara Barat yang orientasinya bagaimana menguasai sains dan teknologi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai materi sehingga mengarah kepada materialisme.

Comments :

0 komentar to “sejarah, metodologi, sistem, tujuan pesantren”


Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.