Rabu, 25 Agustus 2010

Metode Musyawarah Kitab Fathu al-qorib

Metode Mosyawarah
by; Suheri, S.Pd.i Jambi

2.1 Metode Musyawarah Kitab Fathu al-qorib
2.1.1 Pengertian Metode
Dalam kegiatan belajar mengajar, metode menempati peranan yang tidak kalah pentingnya dari komponen lainnya dalam kegiatan belajar mengajar. Metode merupakan suatu alat untuk memotivasi dan sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam pengajaran.
Dari berbagai pakar dalam dunia pendidikan memiliki pendapat yang berbeda-beda untuk mendefinisikan pengertian tentang metode. Saputro (1993: 143) dalam bukunya mengenai pengembangan proses belajar mengajar menjelaskan "metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Metode adalah cara-cara yang dilaksanakan untuk mengadakan interaksi belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan pengajaran".
Metode berasal dari kata method yang berarti suatu cara kerja yang sistematis untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan dalam mencapai suatu tujuan. (Nasih dan Kholidah, 2009: 29)
Metode juga dapat diartikan sebagai proses atau prosedur yang hasilnya adalah belajar atau dapat pula merupakan alat melalui makna belajar menjadi aktif. (Wahab, 2008: 83)
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia ( Tanpa tahun: 529) tertulis bahwa metode adalah cara sistematis dan berfikir secara baik untuk mencapai tujuan, prinsip dan praktek-praktek pengajaran bahasa.
Dalam pandangan Darajat apabila metode disandingkan dengan kata pembelajaran maka berarti suatu cara atau sistem yang digunakan dalam pembelajaran yang bertujuan agar anak didik dapat mengetahui, memahamai, mempergunakan serta mengusai bahan pelajaran tertentu (Nasih dan Kholidah, 2009: 29)
Arifin mengungkapkan bahwa metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa arab metode disebut "thoriqah". Sehingga dapat dipahami bahwa metode berarti suatu cara yang harus ditempuh untuk menyajikan bahan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan (Nasir dan Kholidah, 2009: 29)
Tafsir berpendapat bahwa metode ialah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu” (Tafsir, 2000: 9)
Djamarah (1995: 53) dalam bukunya mengatakan "metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan".
Dari beberapa pendapat para pakar di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dinamakan metode adalah suatu cara yang digunakan dalam penyajian suatu bahan pengajaran untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.


2.1.2 Pengertian Musyawarah
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Tanpa tahun: 545) disebutkan bahwa musyawarah adalah sidang, rapat, pembahasan tentang sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan mufakat.
Menurut At-Thobari musyawarah adalah saling mengemukakan pembicaraan (al-kalam) untuk memperlihatkan kebenaran (Hakim dan Mubarok, 2008: 223)
Musyawarah adalah sebuah kegiatan diskusi dalam rangka melatih berfikir secara kritis, cermat dan akurat demi keputusan bersama dengan kualitas kebenaran yang bisa dipertanggung jawabkan (http:// mengembalikan tradisi melalui diskusi.com)
Dalam suatu pendapat yang cermat Shihab (2007: 469) mengemukakan:
"Musyawarah terambil dari kata syara yang pada mulanya mengeluarkan madu dari sarang lebah, namun ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain. Musyawarah dapat pula berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.

Musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atau penyelesaian bersama (Hakim dan Mubarok, 2008: 223)
Sedangkan menurut Asfihani bahwa musyawarah adalah saling mengeluarkan pendapat antara satu dan yang lainnya (Hakim dan Mubarok, 2008: 223)
Dari pemaparan pendapat-pendapat tersebut dapat diambil sebuah intisari yaitu musyawarah adalah sebuah kegiatan diskusi yang dilakukan secara bersama-sama, saling mengemukakan pendapat masing-masing untuk mencapai suatu tujuan bersama dan untuk mendapatkan keputusan bersama secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan
Jadi secara jelas bahwa metode musyawarah adalah suatu cara yang digunakan dalan suatu pembelajaran yang dilakukan secara bersama-sama, saling mengemukakan pendapat masing-masing untuk mencapai suatu tujuan bersama dan untuk mendapatkan keputusan bersama secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
Secara normatif Al-quran telah memberikan penegasan akan pentingnya metode ini dalam pengajaran sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125 berbunyi:
"Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah (diskusikanlah) mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat."

Begitu pula dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah berfirman
"Maka disebabkan rahmat dari Allahlah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berkeras hati niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekeliligmu. Karena itu maafkan mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah kepada mereka dalam urusan itu, kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad bertawakalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal."


2.1.3 Musyawarah dan Diskusi
Musyawarah merupakan kegiatan diskusi dalam rangka berfikir kritis, cermat dan akurat demi tercapainya keputusan bersama dengan kualitas kebenaran yang bisa dipertanggung jawabkan.
Diskusi merupakan salah satu cara yang dapat menyelesaikan masalah, yang mungkin menyangkut kepentingan bersama dengan jalan musyawarah untuk mufakat (http:// metode diskusi atau musyawarah.com)
Diskusi adalah suatu percakapan ilmiyah oleh beberapa yang tergabung dalam suatu kelompok untuk saling betukar pendapat tentang sesuatu masalah atau bersama-sama mencari pemecahan jawaban dan kebenaran atas suatu masalah. (Subroto, 2009: 167)
Syikh Az-Zarnuji dalam (Al-Qudsi, Tanpa tahun: 60) mengemukakan bahwa bertukar fikiran atau perdebatan dengan disertai hati yang dingin itu maksudnya adalah musyawarah.
Dalam musyawarah atau diskusi bertujuan untuk mencari solusi yang paling optimal yang bermanfaat sehingga tahu kapan berhenti sangat bijak untuk tidak menyeret debat berkepanjangan tanpa tujuan.
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa diskusi dan musyawarah itu adalah lebih mirip yang bertujuan mencari pemecahan suatu masalah secara bersama-sama.

2.1.4 Langkah-Langkah Penggunaan Metode Musyawarah
Sebuah keputusan yang benar tentu harus dihasilkan dari sistem musyawarah atau diskusi yang benar. Di sinilah kemudian dibutuhkan berbagai aspek pendukung baik metode, pelaku maupun perangkat-perangkat lainnya. Sebuah metode musyawarah yang baik tidak akan membuahkan hasil maksimal apabila para pelaku tidak mampu menjalankannya dengan baik. Begitu pula sebaliknya, pelaku yang berkualitas juga tidak akan menjamin hasil maksimal tanpa didukung metode musyawarah yang memadai. Oleh karenanya sebelum memulai dalam pelaksanaan sebuah musyawarah atau diskusi diperlukan langkah-langkah yang baik dan efektif dalam penggunaan metode ini.
Menurut Suryo Subroto (2009: 169) langkah-langkah metode ini adalah:
a. Guru mengemukakan masalah yang akan didiskusikan atau dimusyawarahkan dan memberikan pengarahan seperlunya mengenai cara-cara pemecahannya.
b. Dengan pimpinan guru para siswa membentuk kelompok-kelompok, memilih pemimpin diskusi atau musyawarah, pelapor, mengatur tempat duduk dll.
c. Para siswa berdiskusi atau musyawarah dalam kelompoknya masing-masing sedangkan guru berkeliling dari satu kelompok ke kelompok yang lain, menjaga ketertiban serta memberikan dorongan dan bantuan sepenuhnya agar setiap anggota kelompok berpartisifasi aktif dan agar diskusi berjalan lancar.
d. Kemudian tiap-tiap kelompok melaporkan hasil diskusi mereka. Hasil-hasil yang dilaporkan itu ditanggapi oleh seluruh siswa.
e. Akhirnya para siswa mencatat hasil diskusi mereka.
Nasih dan Kholidah (2009: 60) mengemukakan langkah tersebut adalah:
a. Semua atau sebagian besar anggota kelompok sangat tertarik terhadap masalah yang didiskusikan dan dimusyawarahkan.
b. Masalah yang dikaji sudah dikenal baik oleh sebagian besar anggota kelompok
c. Masalah bersifat jelas dan dimengerti oleh semua anggota kelompok.
d. Masalah mempunyai tingkat kesulitan yang dapat menumbuhkan diskusi atau musyawarah yang berkelanjutan.
e. Informasi cukup tersedia bagi anggota kelompok untuk memecahkan masalah dengan memuaskan
f. Masalah dapat dibagi menjadi bagian-bagian logis
g. Masalah merangsang pemikiran yang bermutu.
Sedangkan Darwin Syah (2007: 142) menyebutkan langkah-langkah tersebut sebagai berikut:
1. Tahap persiapan/perencanaan
a. Merumuskan tujuan diskusi atau musyawarah
b. Menentukan mekanisme dan tata tertib diskusi atau musyawarah
c. Merumuskan masalah atau topik yang akan dibahas.
d. Menetapkan waktu dan temapat musyawarah atau diskusi
2. Tahap pelaksanaan
a. Menunjuk dan menentukan petugas diskusi atau musyawarah
b. Memotivasi siswa untuk aktif berpartisipasi dalam diskusi atau musyawarah
c. Menetapkan kondisi dan iklim belajar yang menyenangkan
d. Membuat catatan ide-ide dan saran-saran yang penting
e. Memberikan reinfocment terhadap siswa yang aktif maupun memberikan saran dan masukan kepada siswa yang lain
3. Tahap tindak lanjut
a) Membuat resume dan kesimpulan hasil diskusi atau musyawarah
b) Membacakan dengan menggaris bawahi hasil tersebut untuk diadakan koreksi
c) Membuat penilaian terhadap jalannya diskusi atau musyawarah, baik terhadap petugas maupun terhadap peserta yang lain

2.1.5 Modal Utama dalam Musyawarah Kitab
Dalam hal ini semua pelaku musyawarah baik pemandu atau peserta mutlak mempunyai dua modal utama:
1. Kemampuan membaca kitab kuning yang memadai
Sebelum kita mempertajam pengusaan materi, syarat mutlak yang dibutuhkan pelaku musyawarah adalah keterampilan membaca kitab kuning dengan baik dan benar. Keterampilan ini memerlukan tiga modal pokok yaitu: ilmu nahwu, shorof dan dan kamus (dititik tekankan pada pengusaan kosa kata)
2. Pengusaan materi musyawarah
Modal pengusaan materi yang kurang dari peserta akan menyebabkan musyawarah tidak bisa berjalan efektif. Karena mereka akan cendrung pasif dan hanya mencari pemahaman dan tidak mampu aktif apalagi memberi masukan pada peserta lain. Sedangkan penguasaan materi yang minim dari pemimpin musyawarah akan berakibat sangat fatal dan menjadi faktor utama hancurnya musyawarah
Sebagai usaha mendapatkan pengusaan materi yang memadai, seorang murid harus menjalankan metode belajar dan muthalaah yang benar. Tidak hanya sekedar membaca tanpa memahami target-target yang harus dicapai. Berikut ini metode yang efesien dan efektif untuk mendapatkan pemahaman berbobot:
a. Terjemahkan dengan benar apa yang dibaca dalam setiap satu qadhiah
b. Teliti satu persatu kalimat yang ada kemudian definisikan istilah-istilah yang tercantum di dalamnya dengan mencari batasan-batasan
c. Selanjutnya pahami ibarat tersebut dengan pemahaman terbaik
d. Cari sisi kemuskilan lain yang belum nampak
e. Aktualisasikan dengan lingkungan di sekitar anda saat sekarang.
Modal penguasaan materi musyawarah akan menghasilkan musyawarah yang hidup dan dengan didukung semangat dan kesadaran yang tinggi musyawarah akan terasa lebih hidup. Oleh karena faktor penting yang bisa menumbuhkan kesadaran dan semangat tersebut adalah dengan memahami manfaat dan pentingnya musyawarah dalam proses belajar mengajar. (http://azka03.blogpost.com /2009/11/mengembalikan tradisi melalui diskusi.)
Selain beberapa modal utama di atas ada beberapa faktor yang cukup berperan dalam meningkatkan mutu musyawarah sekaligus meningkatkan kualitas pelaku musyawarah atau diskusi yaitu:
1. Pengusaan bahasa yang baik dan benar
dalam hal ini ada beberapa faktor yang penting yang harus dikuasai dan dilatih, yakni:
a. Perbendaharaan kosa kata
b. Susunan bahasa yang baik dan benar
c. Intonasi
2. Kecekatan mencari referensi pendukung
Tata cara tebaik dalam mencari keterangan ibarat adalah sebagai berikut:
a. Pahami materi matan sebaik mungkin sebelum melanjutkan ke kitab syarah atau hasiyah
b. Pahami secara utuh materi dalam satu bab dari persoalan yang dicari
c. Telusuri ibarat secara bertahap
d. Sebisa mungkin hindari penggunaan ibarat dari kitab-kitab kontemporer
e. Pahami istilah-istilah khusus dari kitab yang dipelajari
f. Bandingkan penjelasan dalam satu kitab kepada kitab yang lain.
g. Latihlah untuk menggali kemuskilan dari ibarat-ibarat yang ditemukan
h. Uji pemahaman yang kamu dapatkan dengan berdiskusi
i. Catat ibarat-ibarat yang didapatkan untuk diteliti lebih dalam
3. Ketrampilan berdiskusi atau musyawarah
a. Berbahasa yang baik, singkat dan memahamkan, terutama dalam :
1. Pembacaan kitab serta muradnya
2. Penyimpulan materi
b. Mengatur suasana dan alur musyawarah
4. Latihan-latihan pra musyawarah

2.1.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan santri dalam membaca kitab kuning
Membaca kitab kuning merupakan suatu aktivitas yang berlangsung melalui proses. Kemampuan santri dalam membaca kitab kuning tidaklah mudah diperoleh melainkan harus melalui proses belajar. Berhasil atau tidaknya proses belajar itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang cukup komplek.
Purwanto (2007: 102) mengemukakan berhasil baik dan tidaknya proses belajar itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal maupun faktor eksternal.
1. Faktor Internal/ Individu
a. Intelijensi
Intelijensi adalah kecerdasan fikiran, dengan intelijensi fungsi fikir dapat digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi atau untuk memecahkan suatu masalah.
Kata intelijensi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kata intelek. Karena intelek adalah daya atau potensi untuk memahami sedangkan intelejensi adalah aktivitas atau prilaku yang merupakan perwujudan dari daya atau potensi tersebut.
b. Bakat
Bakat dapat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar pada bidang-bidang tertentu. Dan setiap orang mempunyai bakat yang berbeda-beda. Sehingga seorang santri yang mempunyai bakat dibidang keagamaan dan bahasa arab akan mudah baginya mengusai teknik baca kitab kuning. Dan bakat ini nantinya akan mempengaruhi dirinya untuk mempelajari kitab kuning secara mendalam, sehingga besar kemungkinan ia dapat meraih prestasi yang tinggi.
c. Motivasi
Apabila santri menginginkan untuk membaca kitab kuning lebih baik maka diperlukan adanya motivasi yang kuat dalam dirinya.
2. Faktor dari luar individu/ Eksternal
a. Lingkungan
Lingkungan merupakan keadaan sekitar yang mempengaruhi pendidikan anak. Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak pendidikan yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap peserta didik. Baik berupa lingkungan sosial, keluarga, masyarakat maupun sekolah.

2.1.7 Pengertian Kitab Fathu Al-Qorib
Fathu al-qorib adalah kitab fiqh klasik yang bermazhab Imam Syafi'i yang dikarang oleh Syeikh Muhammad Qosim Al-Ghazi (859-918 H) yang merupakan syarah atau penjelasan dari kitab taqrib karangan Al-Qadhi Abu Syuja' Al Asfahani.
Fathu al-qorib dilihat dari isi kandungannya sebenarnya sama saja dengan kitab asalnya tetapi, dari sudut pendekatannya menggunakan cara yang modern dan lebih memudahkan. Dan juga dalam kitab ini berisi tentang beberapa hukum yaitu:
a. Hukum Ibadah
b. Hukum Muamalah
c. Hukum Munakahah
d. Hukum Mawaris
e. Hukum Jinayah
Di kalangan pesantren kitab fathu al-qorib tidak lagi merupakan kitab yang langka karena kitab ini merupakan kitab pesantren yang selalu dikaji setiap harinya oleh kiai maupun santri-santri. Sebab kitab fathu al-qorib ini adalah kitab fiqh dasar yang perlu diketahui oleh setiap orang Islam mengingat begitu awam pemahaman orang-oarang awam akan Islam serta hukum-hukum Islam. Oleh karenanya, kitab fathu al-qorib ini perlu dikaji dalam memahami hukum-hukum fiqh secara mendasar namun tidak menutup kemungkinan dengan memahami kitab ini siswa atau orang Islam akan lebih memahami akan hukum-hukum fiqh.

2.2. Hukum Fiqh
2.2.1 Pengertian Hukum
Secara etimologi hukum berarti man'u yakni mencegah. Hukum juga berarti qadha yang berarti putusan (Haroen, Tanpa tahun: 207)
Sedangkan ulama usul fiqh (Umam, 2000: 213) mengemukakan bahwa apabila disebut hukum maka artinya adalah:
a. Menetapkan sesutu atas sesuatu atau meniadakannya.
b. Khitab Allah
c. Akibat dari khitab Allah seperti, hukum ijab yang dipahami dari khitab Allah
d. Keputusan hakim disidang pengadilan

2.2.2 Pengertian Fiqh
Fiqh menurut Dzajuli (2009: 5) adalah paham terhadap tujuan seseorang pembicara. Menurut istilah, fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syara' yang amaliyah (mengenai perbuatan dan prilaku) dengan melalui dalil-dalil yang terperinci dan juga yang dihasilkan oleh fikiran serta ijtihad dan memerlukan wawasan serta perenungan.
Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 122 disebutkan
وَمَا كَانَ المُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Artinya:"Hendaklah dari tiap-tiap golongan mereka ada serombongan orang yang pergi untuk memahami (mempelajari) agama, agar memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Q.S. At-Taubah: 122) (Depag RI, 2002 )

Definisi fiqh sebagai Al-Muktasab menunjukkan pada sebuah pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses penalaran.
Hal senada juga dikemukakan oleh Abbas (2007: 24) bahwa fiqh dalam bahasa arab adalah pengertian, pemahaman. Dan dalam Islam berarti ilmu pengetahuan tentang hukum syariat Islam sesuai dengan dalilnya satu persatu
Dalam hadist Nabi Muhammad disebutkan
مَنْ يُرِيْدُ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُ فِى الدِّيْنِ (رواه البخارى)
Artinya:"Barang siapa dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang baik disisi-Nya niscaya diberikan kepadanya pemahaman yang mendalam dalam pengetahuan agama (H.R Bukhori).

Dalam kitab fiqh Islam Imam Wahbatuz Zuhaili (2008: 30) menyebutkan bahwa fiqh yaitu paham, sebagaimana firman Allah dalam surat Hud ayat 91
قَالُوْ يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِمَّا تَقُوْلُ
Artinya: "Mereka berkata: wahai syuaib! Kami tidak banyak mengerti dengan apa yang kau katakan (Hud: 91) (depag RI, 2002: 311)

Begitu pula menurut Imam Syafi'i bahwa fiqh adalah ilmu yang membahas hukum-hukum syara' yang sebangsa amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci
Fiqh adalah ilmu yang membahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan hukum. Pemahaman dan penafsiran memerlukan ijtihad yakni upaya keras dalam bentuk pemikiran untuk mengeluarkan ketentuan hukum agama dari sumbernya. Fiqh berisi peraturan-peraturan yang pelaksaannya menjadi pegangan dan pedoman dalam berprilaku. Jadi boleh dikatakan bahwa fiqh merupakan operasionalisasi hukum syariat berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. (Suryana dkk, Tanpa tahun: 110)
Dari beberapa pengertian tentang hukum dan fiqh yang telah dikemukakan di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan atau intisari bahwa hukum fiqh adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hukum Islam.

2.2.3 Obyek hukum fiqh
Dari pengertian hukum fiqh di atas dapat dipahami bahwa obyek dari hukum fiqh tersebut adalah perbuatan mukallaf. Sebagaimana dikatakan bahwa maudhu atau obyek fiqh adalah perbuatan orang mukallaf baik dari perbuatan maupun dari pilihan (Zuhaili, 2008: 32)
Obyek pembahasan hukum fiqh adalah aspek hukum setiap perbuatan mukallaf serta dalil dari setiap perbuatan tersebut. ( Dzajuli, 2006: 19)

2.2.4 Pembagian Hukum Fiqh
Dalam suatu materi atau pembahasan hukum fiqh maka terdapat pembagian yang ada dalam hukum fiqh tersebut. Ulama membagi hukum fiqh dalam beberapa bagian yaitu:
a. Hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdhah yaitu hukum yang mengatur persoalan ibadah manusia kepada Allah
b. Hukum yang berkaitan dengan masalah muamalah yaitu persoalan hubungan sesama manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan material dan hak masing-masing
c. Hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga seperti nikah, talak dll
d. Hukum yang berkaitan dengan tindak pidana seperti zina, pencurian, perampokan dan lain-lain
e. Hukum yang berkaitan dengan persoalan peradilan dan penyelesaian perkara hak dan kewajiban sesama manusia
f. Hukum yang berkaitan dengan persoalan pemerintahan yang mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat
g. Hukum yang berkaitan dengan persoalan akhlak (http:// pengertian hukum fiqh.com).

2.3 Pondok Pesantren
2.3.1 Pengertian Pondok Pesantren
Para ahli dalam memberikan pengertian tentang pesantren sangat berbeda, tergantung darimana ia memandang sebuah pesantren dengan segala aplikasinya.
Menurut Yasmadi (2002: 62) Pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang mendapat awala pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santri-an yang bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Sedang C.C. Berg. berpendapat bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Hasbullah (2001, 24) sebagai berikut: “Di Indonesia, istilah kutab lebih dikenal dengan istilah “Pondok Pesantren” yaitu suatu lembaga pendidikan Islam, yang di dalamnya terdapat seorang Kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik). Dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan tersebut. Serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri. Dengan demikian ciri-ciri pondok pesantren adalah adanya kyai, santri, masjid, dan pondok."
Pondok pesantren yaitu suatu pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat seorang kiyai yang mengajar dan mendidik para santri dengan sarana masjid yang digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan tersebut. Serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri. Dengan demikian ciri-ciri pondok pesantren adalah adanya kiyai, santri, masjid dan asrama (Mujib dan Mudzakkir, 2008:234)
Menurut Jaelani dalam Uhbiyati (2005:240) menyatakan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal (sistem bandungan atau sorogan) di mana seorang kiyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan. Sedangkan para santri biasanya tinggal dalam pondok dalam pesantren tersebut.
Adapun pengertian lain tentang pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang pada umumnya dengan cara non klasikal, pengajarnya seorang yang menguasai ilmu agama Islam melalui kitab-kitab agama Islam klasik (kitab kuning) dengan tulisan (aksara) arab dalam bahasa Melayu kuno atau dalam bahasa arab.
Pondok pesantren dewasa ini adalah merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan dan wetonan. Dengan para santri disediakan pondokan atau merupakan santri kalong yang dalam istilah pendidikan pondok modern memenuhi keriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.
Memperhatikan dari penjabaran tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren itu ada dua tipe yaitu:
a. Pondok pesantren yang mempertahankan sistem pendidikan dalam bentuk aslinya. Pondok pesantren tipe ini tidak memiliki tingkat sebagaimana tingkat yang kita kenal di sekolah. Kelas atau kelompok yang ada yaitu penggolongan kepada ilmu yang dipelajari seperti kelompok pengajian tafsir, nahwu, shorof dan lain sebagainya,
b. Pondok pesantren yang menyesuaikan dengan tuntutan zaman dan perkenmbangan kemajuan di lapangan pendidikan. Pondok pesantren ini menyelenggarakan sistem madrasah dalam mendidik santri-santrinya di samping pengajian kitab sebagaimana dilakukan oleh pondok pesantren tipe pertama. Karena itu di sini ada penjenjangan belajar santri sebagai berikut: tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, bahkan perguruan tinggi. Namun demikian baik pondok pesantren tipe pertama ataupun kedua kesemuanya masih memegangi adanya ciri-ciri khusus pondok pesantren yaitu: adanya kiyai, santri, masjid serta asrama.

2.3.2 Tujuan Pondok Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren merupakan sintesa dari beberapa tujuan pendidikan pesantren. Rumusan tujuan pondok pesantren ada titik temunya jika dikomparasikan dengan ayat Al-qur’an:
وَمَا كَانَ المُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Artinya: “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan pada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122) (Depag RI, 2002 )

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, maka dalam merumuskan tujuan atau cita-cita tentu saja searah kepada nilai-nilai Islam, baik rumusan tersebut secara formal atau hanya berupa slogan-slogan yang diucapkan oleh pengaruh pesantren. Di samping itu keberadaan pesantren juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Oleh karena itu pesan-pesan yang dapat ditangkap dari masyarakat juga merupakan pedoman dalam merumuskan tujuan pendidikan pesantren.

Dengan demikian tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah:
1. Tujuan umum yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam, yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2. Tujuan khusus yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan mendakwahkan dalam masyarakat. (Mujib dan Mudzakkir, 2008:235)

Comments :

0 komentar to “Metode Musyawarah Kitab Fathu al-qorib”


Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.